PENDAHULUAN
Produksi pewarna alami asal mikroorganisme laut dapat bersifat massal dan kontinyu serta lebih fleksibel dan mudah dikontrol. Pewarna alami dipercaya mampu memberikan nilai lebih “aman”, ketimbang pewarna makanan sintetik yang banyak beredar di pasaran (Anonim, 2011).
Dalam industri pangan, termasuk industri snack dan confectionery, penggunaan pigmen warna sudah menjadi hal penting. Warna yang memikat akan mendorong konsumen untuk membeli, apalagi untuk produk seperti permen dengan segmentasi anak-anak (Foodreview, 2011).
Meningkatnya kepedulian konsumen terhadap kesehatan, kini mendorong industri pangan untuk mengembangkan produk yang lebih sehat, termasuk dalam pemilihan ingridiennya. Pewarna adalah salah satunya (Foodreview, 2011).
Keberadaan pewarna alami menjadi penting di waktu akhir-akhir ini, seiring makin santernya isu keamanan pangan. Zat warna alami dihasilkan oleh tumbuhan, baik tumbuhan tingkat tinggi maupun tumbuhan tingkat rendah atau mikroorganisme (antara lain jamur, khamir dan bakteri), dan komponen yang menghasilkan warna ini dikenal dengan nama pigmen (Anonim, 2011).
Salah satunya yang sangat terkenal adalah karotenoid. Istilah karotenoid mulanya diperoleh dari salah satu tipenya, yaitu â-karoten. Pigmen tersebut merupakan pigmen kuning pertama yang berhasil diisolasi dari wortel (Daucus carota) oleh Wackenroder pada 1831. Sementara penemuan pigmen karotenoid pada mikroorganisme pertama kali dilaporkan 100 tahun yang lalu, ketika beberapa jenis bakteri non-fotosintetik dan jamur diisolasi. Penelitian lebih lanjut tentang bakteri non-fotosintetik yang memproduksi karotenoid dilakukan sekitar 1930-an. Pelopor penelitian terhadap bakteri fotosintetik ini adalah Van Niel dan Smith pada 1935 (Nelis dan Leenheer, 1989) (Foodreview, 2011).
ISI
Banyak komponen warna alami yang telah terbukti memberikan manfaat bagi kesehatan, misalnya likopen, antosianin, beta karoten, dan sebagainya. Namun, kebanyakan pewarna yang digunakan tersebut masih berasal dari darat, padahal di laut juga terdapat berbagai jenis pewarna yang memiliki potensi besar untuk digunakan (Foodreview, 2011).
Kekayaan hayati lautan nusantara sangat beragam, disebabkan oleh lingkungan abiotik laut yang bervariasi dan mempunyai kekhasan tersendiri. Keunikan relung ekologi ini memfasilitasi tumbuh kembangnya makro-mikro-organisme serta kandungan senyawa bioaktif yang khas yang hanya dijumpai di lautan. Kandungan senyawa metabolit sekunder makroorganisme laut, diketahui merupakan sumber yang kaya akan produk senyawa bioaktif dan mempunyai potensi aplikasi kesehatan dan bioteknologi (Thiel dan Imhoff, 2003).
Mesin Biologi Penghasil Pigmen
Biopigmen yang meliputi karotenoid adalah contoh senyawa bioaktif yang dapat ditemukan pada mikroorganisme laut seperti bakteri laut. Fungsi fotoproteksi dalam ekologi lautan tropis yang menerima cahaya matahari begitu kuat sepanjang tahun, mengakibatkan organisme laut tropis harus beradaptasi untuk bertahan dari paparan cahaya matahari yang merusak. Bentuk adaptasi tersebut di antaranya dengan mensintesis karotenoid yang menghasilkan warna merah sampai kuning, sehingga variasi warna organisme dari lautan tropis lebih kaya dibandingkan lautan non tropis. Dalam hal produksi pigmen menggunakan mikroorganisme, sel mikroorganisme dapat dianggap sebagai “mesin biologi” penghasil pigmen (Foodreview, 2011).
Produksi materi menggunakan kultur mikroorganisme memiliki beberapa keuntungan. Keuntungan tersebut adalah jika mikroorganisme berhasil dimurnikan dan dikultur dalam bentuk tunggal (monokultur) maka tidak perlu mengoleksinya lagi dari alam. Pertumbuhan mikroorganisme yang sangat cepat dapat menghemat waktu, dan proses produksinya dapat berlangsung secara kontinyu. Dibandingkan tumbuhan dan hewan, produksi dengan mikroorganisme lebih fleksibel dan dapat dengan mudah dikontrol. Mikroorganisme mampu menghasilkan berbagai macam pewarna seperti klorofil dan karotenoid, serta beberapa pigmen lainnya. Berbagai penelitian telah dikembangkan dengan tujuan mengeksplorasi berbagai jenis mikroorganisme yang menghasilkan pigmen. Beberapa jenis bakteri laut yang berpotensi sebagai produk pewarna makanan telah dikembangkan dalam skala laboratorium (Foodreview, 2011).
Potensi pemanfaatan
Sebagian besar jenis pigmen yang dihasilkan oleh bakteri laut adalah golongan karotenoid. Beberapa diantaranya yang memiliki nilai komersial adalah: astaxantin, β-karoten, zeaxantin dan kantaxantin. Karotenoid bakteri laut secara in-vitro dapat dimanfaatkan dalam bidang kesehatan, diantaranya sebagai prekursor vitamin A, yang dapat dikonversikan menjadi vitamin A. Fungsi lainnya adalah sebagai antikanker, anti obesitas, serta dapat membantu sistem kekebalan tubuh dengan cara melindungi reseptor sel-sel fagosit (sel-sel darah putih yang mampu membunuh kuman) dari kerusakan auto-oksidasi akibat terbentuknya radikal oksigen (Foodreview, 2011).
Baru-baru ini peneliti India Selvakumar Dharmaraj et al., (2009). menemukan bakteri laut jenis Streptomyces strain (AQBWWS1) yang mampu memproduksi pigmen kuning hingga orange di bawah cahaya putih fluoresens. Bakteri yang hidup di tubuh sponge Callyspongia diffusa ini menghasilkan pigmen jenis karotenoid termasuk likopen dan juga pigmen yang belum teridentifikasi. Hasil uji pendahuluan yang telah dilakukan menunjukkan bahwa pigmen yang dihasilkan bakteri tersebut berpotensi sebagai pewarna pangan. Tentu saja masih membutuhkan penelitian lanjutan, termasuk mengetahui bagaimana pigmen tersebut mampu diproduksi secara massal untuk industri pangan (Foodreview, 2011).
Ketersediaan prekursor vitamin A (karotenoid) di dunia kesehatan diperlukan terus menerus. Karotenoid merupakan salah satu pigmen dihasilkan oleh tumbuhan dan invertebrata laut yang merupakan potensi alam luar biasa di Indonesia. Keberadaan bakteri yang berasosiasi dengan invertebrata laut terumbu karang telah memungkinkan penggunaan organisme tersebut sebagai sumber utama biopigmen baru yang berkelanjutan, khususnya dalam penyediaan sumber alternatif biopigmen khususnya karotenoid alami.
Karotenoid adalah suatu kelompok pigmen yang berwarna kuning, orange, atau merah orange, yang ditemukan pada tumbuhan, kulit, cangkang / kerangka luar (eksoskeleton) hewan air serta hasil laut lainnya seperti molusca (calm, oyster, scallop), crustacea (lobster, kepiting, udang) dan ikan (salmon, trout, sea beam, kakap merah dan tuna). Karotenoid juga banyak ditemukan pada kelompok bakteri, jamur, ganggang dan tanaman hijau (Wordpress, 2011).
Pigmen karotenoid mempunyai struktur alifatik atau alisiklik yang pada umumnya disusun oleh delapan unit isoprena, dimana kedua gugus metil yang dekat pada molekul pusat terletak pada posisi C1 dan C6, sedangkan gugus metil lainnya terletak pada posisi C1 dan C5 serta diantaranya terdapat ikatan ganda terkonjugasi (Wordpress, 2011).
Semua senyawa karotenoid mengandung sekurang-kurangnya empat gugus metil dan selalu terdapat ikatan ganda terkonjugasi diantara gugus metil tersebut. Adanya ikatan ganda terkonjugasi dalam ikatan karotenoid menandakan adanya gugus kromofora yang menyebabkan terbentuknya warna pada karotenoid. Semakin banyak ikatan ganda terkonjugasi, maka makin pekat warna pada karotenoid tersebut yang mengarah ke warna merah (Wordpress, 2011).
Karotenoid dibentuk oleh penggabungan delapan unit isoprene (C5H8) atau 2-metil-1,3-butadiena dimana isoprena yang membentuk karotenoid ini berikatan secara “kepala-ekor” kecuali pada pusat molekul berikatan secara “ekor-kor” sehingga menjadikan molekul kerotenoid simetris.Istilah karoten digunakan untuk beberapa zat yang memiliki rumus molekul C40H56. Secara kimia, karoten adalah terpena yang disintesa secara biokimia dari delapan satuan isoprena C5H8 (Wordpress, 2011).
Karotenoid mempunyai sifat sifat tidak larut dalam air, tetapi larut dalam lemak, mudah diisomerisasi dan dioksidasi, menyerap cahaya, meredam oksigen singlet, memblok reaksi radikal bebas dan dapat berikatan dengan permukaan hidrofobik Karotenoid berada dalam lemak bersama-sama dengan klorofil (Dutta, dkk., 2005), selain itu karotenoid larut dalam hidrokarbon alifatik dan aromatik seperti heksana dan benzene serta larut dalam kloroform dan metilen klorida. Karotenoid harus selalu disimpan dalam ruangan gelap (tidak ada cahaya) dan dalam ruangan vakum, pada suhu -20oC. Karotenoid yang terbaik disimpan dalam bentuk padatan kristal dan didalamnya terdapat pelarut hidrokarbon seperti petroleum, heksana atau benzena. Hal ini bertujuan untuk meminimalkan resiko kontaminasi dengan air sebelum dianalisa lebih lanjut (Wordpress, 2011).
Berdasarkan unsur-unsur penyusunnya karotenoid dapat digolongkan dalam dua kelompok pigmen yaitu karoten dan xantofil. Karoten mempunyai susunan kimia yang hanya terdiri dari C dan H seperti α-karoten, β-karoten dan γ-karoten. Sedangkan xantofil terdiri dari atom-atom C, H dan O. Contoh senyawa yang termasuk dalam xantofil antara lain : cantaxanthin, astaxanthin, rodoxanthin dan torularhodin. Karotenoid alami (juga dikenal sebagai ekstrak karoten) secara alami memberikan pigmen warna pada berbagai tumbuhan termasuk buah-buahan dan sayuran. Karotenoid berperan penting bagi kesehatan dan kelangsungan hidup manusia. Karotenoid dapat meningkatkan sistem immun, perlindungan terhadap kanker dan juga berfungsi sebagai antioksidan (Wordpress, 2011).
Karotenoid mempunyai sifat sifat tidak larut dalam air, tetapi larut dalam lemak, mudah diisomerisasi dan dioksidasi, menyerap cahaya, meredam oksigen singlet, memblok reaksi radikal bebas dan dapat berikatan dengan permukaan hidrofobik Karotenoid berada dalam lemak bersama-sama dengan klorofil (Wordpress, 2011).
Selain sebagai bahan dalam pewarnaan makanan, pigmen dari bakteri laut pun dapat digunakan sebagai bahan pewarnaan yang dimasukkan ke dalam pakan ikan. Oleh karena itu Indonesia sebagai negara yang beriklim tropis dengan keanekaragaman tumbuhannya, menjadi sumber yang sangat potensial untuk mendapatkan sumber-sumber pewarna alami. Selain itu, telah ditemukan pula bahan pewarna hasil rekayasa mikrobiologi, yang dengannya bisa dihasilkan bahan pewarna yang murah dan mudah untuk dikembangbiakkan. Salah satu di antara pewarna rekayasa ini adalah bacteria gene modified (BGM) (Anonim, 2011).
Selain membahas tentang bahan pewarna yang umum digunakan dalam kegiatan budidaya ikan atau budidaya ikan hias, ada tiga bahan baru pewarna ikan yang meliputi (1) marine bacteria, (2) bacteria gen termodifikasi dan (3) astaxanthin buatan. Ketiga bahan ini masih berada dalam pengujian skala laboratorium tapi tidak menutup kemungkinan untuk segera dapat digunakan dalam kegiatan budidaya ikan (Anonim, 2011).
1. Marine bacteria (Paracoccus sp.)
Bahan pewarna dari bakteri ini relatif baru ditemukan dan belum banyak dilakukan penelitian tentang efektifitas pigmentasinya pada ikan budidaya. Bakteri Paracoccus sp adalah bakteri air laut yang berbentuk kokkus (bulat) dari genus Paracoccus. Bakteri ini mampu memproduksi dan secara aktif menghasilkan ketokarotenoids, seperti adonixanthin dan astaxanthin. Karotenoid disimpan dalam sel-sel bakterinya dalam partikel halus. Fenomena ini adalah khas dan belum pernah diamati sebelumnya pada bakteri lain. Hal ini mengakibatkan Paracoccus sp. mudah untuk dipisahkan dari suatu spesies karotenoid khusus dari media melalui pemanenan partikel karotenoid dan kemudian dilanjutkan dengan proses-proses fermentasi. Selain adonirubin dan astaxanthin, Paracoccus sp. juga menghasilkan lycopene, υ- carotene, echinenone, υ- cryptoxanthin, cantaxanthin, adonixanthin, cis-adonixanthin dan zeaxanthin (Anonim, 2011).
Hasil penelitian yang dilakukan Agus (2005) pada skala laboratorium bahwa pemberian Paracoccus dalam pakan ikan kakap merah meningkatkan kandungan carotenoid pada kulit sebesar 7.73 dan 2 kali lipat dibanding ikan yang diberi pakan komersil dan pakan yang mengandung astaxanthin buatan. Sedang kandungan astaxanthin pada kulit ikan Kakap merah yang diberi pakan Paracoccus lebih tinggi 6.2 dan 1.6 kali dibanding ikan yang pakan tidak mengandung astaxanthin dan yang ikan yang diberi astaxanthin buatan dalam pakannya (Anonim, 2011).
Pada penelitian skala lapangan yang dilakukan pada jaring apung di laut dimana dibandingkan pemberian Paracoccus dan Haematococcus sebagai pewarna dalam pakan, terlihat bahwa ikan kakap merah yang diberi Paracoccus dalam pakannya terlihat sedikit lebih tinggi kandungan total carotenoid maupun astaxanthin dibanding dengan pemberian haematococcus (Anonim, 2011).
Hal ini menunjukkan bahwa paracoccus sebagai bahan pigmen baru dapat dijadikan sebagai bahan pewarna dalam pakan ikan baik dalam skala budidaya maupun untuk pemeliharaan ikan hias. Namun sebagai bahan temuan baru, kendala harga masih jadi pertimbangan untuk pemasaran dalam skala besar. Sebagai perbandingan 1 kg astaxanthin buatan (Carophyll Pink) bisa seharga 2.300 yen, sementara pada berat yang sama, harga 1 kg marine bacteria (Paracoccus) mencapai sekitar 6.000 yen (Anonim, 2011).
2. Bakteri gen termodifikasi
Perkembangan terbaru teknik mikrobiologi menggagas adanya usaha membuat bakteri yang bisa menghasilkan pigment pewarna yang murah dan dalam jumlah yang banyak. Usaha ini berhasil diwujudkan dengan membuat bakteri gen termodifikasi (Bacteria gene modification) atau lebih dikenal sebagai bakteri astaxanthin. Bakteri ini dihasilkan dengan menyuntikkan gen pewarna ke bakteri Escherichia coli dan selanjutnya dalam waktu singkat berkembangbiak dan menghasilkan bakteri penghasil astaxanthin. Kemudian seperti pada bahan pewarna lainnya, bakteri ini dibuat tepung dan dicampurkan kedalam pakan (Anonim, 2011).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Agus (2005) berupa pemberian bakteri astaxanthin dalam pakan ini menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan pada kulit ikan kakap merah dibanding dengan ikan control. Nilai perbandingan total carotenoid dan astaxanthin pada kulit ikan kakap yang diberi pakan bakteri astaxanthin masing-masing sebesar 3.4 kali dan 2.9 kali lebih besar dibandingkan dengan ikan control. Nilai ini masih lebih besar 1.4 kali dan 1.5 kali dibanding ikan kakap yang diberi pakan astaxanthin buatan, namun lebih kecil 1.3 kali dan 1.0 kali total carotene dan astaxanthinParacoccus sp. (Anonim, 2011). dibanding ikan kakap yang dalam pakannya mengandung
Secara produksi dan nilai jual dari bakteri astaxanthin sudah lebih mudah dan murah (dapat teratasi), namun masyarakat masih ragu untuk mengkonsumsi segala jenis produk pertanian yang berasal dari gen termodifikasi (Anonim, 2011).
3. Astaxanthin Buatan (synthetic astaxanthin)
Berbeda dengan kedua sumber astaxanthin sebelumnya, astaxanthin buatan berasal dari Carophyll pink sebagai nama atau merek dagang yang diberikan. Carophyll pink adalah suatu produk inovatif dengan suatu struktur beadlet (menyerupai butiran manik-manik) tanaman. Bahan ini sangat praktis, mudah larut dalam air dan sangat tahan terhadap proses-proses fisik atau kimia. Ia adalah suatu produk yang berbentuk sangat fleksibel. Bahan pewarna ini dibungkus dengan starch (tepung kanji) sehingga tidak berdebu dan tidak berdampak pada pencemaran lingkungan perairan. Bentuk partikel, ukuran dan jumlah partikel bahan ini dirancang sedemikian rupa agar dapat terdistribusi secara merata pada saat pembuatan pakan ikan. Molekul-molekul carophyll pink ini distabilkan dengan bantuan antioksidan dan dibungkus dengan karbohidrat dan gelatin. Dilihat dari komposisi utama bahan pewarna sintetik, bahan ini didominasi oleh astaxanthin bebas (free astaxanthin) yang sangat berbeda dengan pewarna alami yang didomnasi oleh astaxanthin ester (baik mono maupun diester) (Anonim, 2011).
Dalam proses pembuatan pakan, astaxanthin ini pecah dan keluar dari carophyll pink. Ini penting untuk meningkatkan biovaialabilitynya (pemanfaatan) dari yang sebelumnya terbungkus dalam lapisan kapsulnya. Mungkin ada sedikit astaxanthin yang hilang selama proses pembuatan pakan ikan atau selama dalam penyimpanan pakan di gudang pakan. Struktur pelapisan astaxanthin yang sempurna dalam lapisan karbohidrat dan gelatin serta dilindungi pula oleh antioksidan yang merupakan keunggulan bahan pewarna ini (Anonim, 2011).
Dinilai dari tingkat biovailabilitynya, Carophyll pink memiliki bioavialabilty yang lebih tinggi dibandingkan dengan astaxanthin alami (Haematococcus sp. dan Phaffia yeast) (Anonim, 2011).
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa pigmentasi pada ikan yang diberikan astaxanthin buatan, pengaruh pewarnaannya menjadi lebih baik dibandingkan dengan pakan alami. Hal ini kemungkinan disebabkan karena bahan ini mudah diserap oleh tubuh ikan, sedangkan pada pewarna alami terkadang sulit diserap karena ketebalan dinding selnya (Anonim, 2011).
Melihat banyaknya sumber-sumber bahan pewarna baik alami, buatan, maupun hasil rekayasa genetika, maka sebaiknya pemberian warna dalam pakan ikan mutlak diperhatikan. Potensi kekayaan aneka ragam hayati dan tumbuhan negara kita memungkinkan kita mampu memproduksi bahan pewarna ikan yang lebih murah dan jika memungkinan kita bisa mengekspornya ke luar negeri. Untuk ke depannya, diharapkan dengan peningkatan harga ikan budidaya sebagai hasil dari pewarnaan yang baik akan menjadikan kualitas ikan kita meningkat dan bisa menjadi andalan produk perikanan dunia (Anonim, 2011).
Banyak komponen warna alami yang telah terbukti memberikan manfaat bagi kesehatan, misalnya likopen, antosianin, beta karoten, dan sebagainya. Namun, kebanyakan pewarna yang digunakan tersebut masih berasal dari darat, padahal di laut juga terdapat berbagai jenis pewarna yang memiliki potensi besar untuk digunakan.
Biopigmen yang meliputi karotenoid adalah contoh senyawa bioaktif yang dapat ditemukan pada mikroorganisme laut seperti bakteri laut. Fungsi fotoproteksi dalam ekologi lautan tropis yang menerima cahaya matahari begitu kuat sepanjang tahun, mengakibatkan organisme laut tropis harus beradaptasi untuk bertahan dari paparan cahaya matahari yang merusak. Bentuk adaptasi tersebut di antaranya dengan mensintesis karotenoid yang menghasilkan warna merah sampai kuning, sehingga variasi warna organisme dari lautan tropis lebih kaya dibandingkan lautan non tropis. Dalam hal produksi pigmen menggunakan mikroorganisme, sel mikroorganisme dapat dianggap sebagai “mesin biologi” penghasil pigmen.
Selain membahas tentang bahan pewarna yang umum digunakan dalam kegiatan budidaya ikan atau budidaya ikan hias, ada tiga bahan baru pewarna ikan yang meliputi (1) marine bacteria, (2) bacteria gen termodifikasi dan (3) astaxanthin buatan. Ketiga bahan ini masih berada dalam pengujian skala laboratorium tapi tidak menutup kemungkinan untuk segera dapat digunakan dalam kegiatan budidaya ikan.
Anda copy paste dari mana ini artikel? Sebutkan sumber aslinya ya...
BalasHapusSaya tahu dan kenal dengan penulis asli artike ini. tolong hargai karya orang lain.
Dengan menyebutkan sumber aslinya. Atau anda lebih baik dilaporkan saja atas tindakan plagiasi ini.
Sekian.